Langsung ke konten utama

Postingan

Kenangan di Kaki Gunung Lawu: Harmoni Alam, Sejarah, dan Kebersamaan

Kenangan di Kaki Gunung Lawu: Harmoni Alam, Sejarah, dan Kebersamaan Juni 1976 Oleh; IBN. Semara M. Ketika saya bersama teman-teman Resimen Mahasiswa seluruh Indonesia tinggal di kaki Gunung Lawu pada Juni 1976, pengalaman tersebut menjadi salah satu momen berharga yang mengajarkan arti kebersamaan, keindahan alam, dan kedalaman sejarah. Di bawah bayang-bayang Gunung Lawu, kami menyaksikan keagungan alam yang berpadu dengan nilai-nilai spiritual dan sejarah yang kental, membuat waktu kami di sana terasa begitu bermakna. Gunung Lawu, dengan ketinggiannya yang mencapai 3.265 meter di atas permukaan laut, seolah menjadi saksi bisu atas kekayaan sejarah dan budaya Nusantara. Terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, gunung ini tidak hanya menawarkan keindahan alam yang memukau, tetapi juga menyimpan warisan Kerajaan Majapahit, seperti Candi Ceto, Candi Sukuh, dan berbagai petilasan Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Kehadiran kami di tempat itu teras...

Makna Harmoni di Balik Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon

Makna Harmoni di Balik Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon Oleh : IBN Semara M. Menurut Ida Pedanda Gede Mandara Putra Kekeran Pemaron, Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon bukan sekadar hari-hari suci dalam kalender Hindu, tetapi juga momentum spiritual untuk menyelaraskan energi antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Ketiga hari ini mengajarkan keseimbangan, pembersihan diri, dan penguatan spiritual yang menjadi fondasi kehidupan umat Hindu. Purnama, saat bulan mencapai puncak terang, melambangkan cahaya ilahi yang menyinari setiap sudut kehidupan. Pada hari ini, umat Hindu mempersembahkan upakara seperti canang sari, pejati, dan daksina kepada Sang Hyang Chandra. Ritual sederhana seperti segehan kecil di halaman rumah menjadi simbol permohonan agar diberi kebahagiaan, kejernihan pikiran, dan perlindungan. Sebaliknya, Tilem, ketika bulan menghilang dari langit, mengingatkan manusia untuk merenungi kelemahan diri. Gelapnya malam Tilem adalah waktu yang tepat untuk melepaskan energi neg...

Makna Harmoni dalam Kehidupan di Balik Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon

Makna Harmoni dalam Kehidupan di Balik Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon Oleh: IBN. Semara M. Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon, meskipun sering dilihat sebagai hari-hari suci dalam kalender Hindu Bali, menyimpan makna yang jauh lebih dalam.  Ida Pedanda Gede Mandara Putra Kekeran , mengajarkan bahwa ketiga hari ini bukan hanya sekadar waktu yang ditandai dengan ritual, tetapi juga momen spiritual untuk menyelaraskan energi antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Melalui pemahaman yang mendalam, umat Hindu dapat menemukan keseimbangan, pembersihan diri, dan penguatan spiritual yang merupakan fondasi kehidupan yang lebih harmonis. Pada saat Purnama , ketika bulan mencapai puncak sinarnya, kita diingatkan akan cahaya ilahi yang hadir untuk menerangi segala aspek kehidupan. Ini adalah momen ketika umat Hindu mempersembahkan berbagai bentuk upakara—canang sari, pejati, daksina—sebagai simbol rasa syukur dan permohonan akan kebahagiaan, kejernihan pikiran, serta ...

Mengubah untuk menemukan kekosongan

M engubah Alam Semesta untuk Menemukan Kekosongan Dalam tradisi spiritual Hindu Bali, terdapat sebuah ungkapan yang memuat makna mendalam, yaitu: "Ubah alam semesta sampai kau temukan kekosongan." Ungkapan ini mengajak umat Hindu untuk merenungkan hakikat alam semesta dan realitas hidup yang tampaknya nyata, namun sesungguhnya merupakan cerminan dari pemahaman yang lebih dalam tentang konsep kekosongan (Sunyata). Kekosongan, dalam konteks ini, bukanlah sesuatu yang kosong atau nihil, melainkan sebuah keadaan di mana segala sesuatu tidak terikat oleh definisi atau pemikiran yang membatasi. Kekosongan dalam Pandangan Hindu Bali Di Bali, konsep kekosongan dapat dipahami melalui ajaran Trikita Karana, yang merujuk pada tiga penyebab atau prinsip utama yang mengatur kehidupan: Parahyangan (hubungan dengan Tuhan), Pawongan (hubungan antar sesama manusia), dan Palemahan (hubungan dengan alam dan lingkungan). Ajaran ini memberikan panduan untuk hidup yang sei...

Makna dan Simbolisme Karowista serta Sarawista dalam Upacara Keagamaan Hindu Bali

M akna dan Simbolisme Karowista serta Sarawista dalam Upacara Keagamaan Hindu Bali Oleh: IBN. Semara M.   Sirawista atau Karowista adalah simbol sakral yang terbuat dari tiga helai alang-alang yang dirangkai hingga ujungnya membentuk lingkaran atau windu dengan titik di tengahnya. Simbol ini melambangkan aksara suci Om yang berasal dari bijaksara AUM , yang dibaca sebagai "A um " atau " Om ". Secara etimologi, Sirawista berasal dari kata Sirah (kepala, puncak, mahkota) dan Wista (kemanggulan untuk mencapai kemanunggalan yang dipuja). Istilah ini menggambarkan hubungan antara tubuh, roh, dan dimensi spiritual yang lebih tinggi. Menurut Ida Pedanda Gede Mandara Putra Kekeran Pamaron, Giriya Selat,   meskipun Karowista dan Sarawista dibuat dari bahan dan bentuk yang sama, penggunaannya menentukan istilahnya: Jika digunakan oleh sulinggih saat mepuja, disebut Sarawista , yang menandakan beliau sebagai Saiwa . Jika digunakan oleh pemangku ...

Menggali Makna di Balik Kehidupan, Alam, dan Waktu

Menggali Makna di Balik Kehidupan, Alam, dan Waktu O leh : IBN. Semara M. Menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi adalah wujud kesadaran spiritual yang mendalam. Tindakan ini tidak hanya mencerminkan nilai-nilai Tri Kaya Parisudha —kesucian pikiran (manacika), ucapan (wacika), dan tindakan (kayika)—tetapi juga selaras dengan ajaran Tri Hita Karana , sebuah konsep filosofis dalam Agama Hindu Bali yang menekankan keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan. Tri Hita Karana mengajarkan pentingnya menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan (Parhyangan), sesama manusia (Pawongan), dan alam semesta (Palemahan). Ketiga aspek ini saling berkaitan dan membentuk dasar untuk menciptakan kehidupan yang selaras.  Dalam hubungannya dengan Tri Kaya Parisudha, pengamalan pikiran, ucapan, dan tindakan yang suci menjadi cara untuk mewujudkan keharmonisan dalam ketiga hubungan tersebut. 1. Manacika (Kesucian Pikiran) Pikiran yang bersih dari niat egois memungkink...

Diksa Pariksa: Mengkaji Ulang Etika dan Relevansi dalam Tradisi Spiritual

D iksa Pariksa: Mengkaji Ulang Etika dan Relevansi dalam Tradisi Spiritual Oleh: IBN. Semara M. Diksa Pariksa merupakan salah satu tahapan penting dalam proses pengangkatan seorang Diksita menjadi Sulinggih. Proses ini tidak hanya sekadar memeriksa kesiapan administratif calon Diksita, tetapi juga menegaskan kesetiaan calon terhadap calon Nabe serta memastikan kemampuannya dalam memahami filsafat, susila, dan tata upacara agama. Diksa Pariksa menjadi langkah awal sebelum seorang calon Diksita dikukuhkan melalui upacara Diksa oleh calon Nabe yang telah membimbingnya. Dalam pelaksanaannya, Diksa Pariksa melibatkan Tri Guru, yaitu Nabe Napak, Nabe Waktra, dan Nabe Saksi. Tri Guru memiliki peran utama dalam memberikan pembelajaran, bimbingan, dan pengujian terhadap calon Diksita. Sebagai figur yang mendidik dan mengenal calon Diksita secara langsung, Tri Guru memiliki wewenang penuh untuk menilai kesiapan spiritual, intelektual, dan moral calon tersebut. Namun, yang menj...