Langsung ke konten utama

Postingan

Pengendalian diri dan kesederhanaan hidup

Padmasana dan Medan Kuantum: Menyatu dengan Kekosongan Suci dalam Hindu Bali Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba > "Yad Bhāvam Tad Bhavati" – Sebagaimana pikiranmu, demikianlah realitamu terjadi. (Chandogya Upanishad 3.14.1) Pendahuluan: Jalan Menuju Takdir melalui Kesadaran Dalam tradisi Hindu Bali, hidup bukan sekadar rentetan peristiwa lahiriah, melainkan cerminan dari apa yang terjadi di dalam batin manusia. Pikiran bukan hanya alat berpikir, tetapi kekuatan pencipta. Kata-kata bukan sekadar getaran vokal, tetapi mantram yang bisa mengguncang semesta. Dan kesadaran bukan hanya pengamat, tetapi energi yang mampu merancang realita. Kini, dalam era modern, sains kuantum datang untuk membuktikan ulang apa yang telah diajarkan oleh para rsi ribuan tahun silam. Bahwa realita tidak sesederhana materi, dan bahwa di balik bentuk-bentuk lahiriah, ada kekosongan suci yang justru merupakan sumber dari segala sesuatu. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri keterkaita...

Lingga‑Yoni dan Caduceus: Simbolisme Kosmik dan Energi Kehidupan

Lingga‑Yoni dan Caduceus: Simbolisme Kosmik dan Energi Kehidupan   Oleh : IBN. Semara M. Dalam tradisi spiritual Nusantara dan Yunani kuno terdapat dua simbol yang sering dianggap sejajar dalam makna mendalamnya: Lingga‑Yoni di Indonesia dan Caduceus di Yunani. Keduanya bukan hanya dekoratif, tetapi juga sarat dengan filosofi tentang kekuatan penciptaan, keseimbangan energi, dan perjalanan spiritual. 1. Lingga‑Yoni — Mewakili Persatuan Makro dan Mikro Lingga (phallus) adalah simbol energi maskulin, kesadaran kosmis, dan kekuatan kehidupan dari sudut pandang Shaivisme. Sementara Yoni (kelahiran) melambangkan energi feminin, kesuburan, dan ruang kelahiran ciptaan kosmis. Bersama-sama, keduanya merepresentasikan penyatuan Purusha (roh) dan Prakriti (materi), penciptaan dan regenerasi alam semesta. Di Bali dan Jawa, simbol ini hadir dalam instalasi dan upacara keagamaan sebagai manifestasi spiritual dan artistik yang dalam. Air suci sering dialirkan melalui yoni, menggamb...

Meniadakan Batasan Ilmu Hitam-Putih dan Meleburkan Semua Dogma

Meniadakan Batasan Ilmu Hitam-Putih dan Meleburkan Semua Dogma @IBN. Semara M. Dalam dunia spiritual dan metafisika, manusia sering kali terjebak dalam dikotomi antara 'ilmu hitam' dan 'ilmu putih'. Istilah ini muncul dari konstruksi moral yang dibangun berdasarkan persepsi sosial dan keagamaan, di mana 'putih' disimbolkan sebagai kebaikan dan 'hitam' sebagai kejahatan. Namun, apakah alam semesta sendiri membedakan energi yang mengalir sebagai baik atau buruk? Ataukah manusia lah yang membubuhkan label itu berdasarkan kepentingan dan keterbatasan pengetahuan mereka? Ilmu adalah energi yang netral, seperti listrik yang bisa menyalakan rumah atau membakar bangunan. Apa yang membedakan adalah niat dan kesadaran si pengguna. Ketika seseorang mempelajari ilmu pengetahuan metafisik, spiritual, atau bahkan ilmu gaib, batas antara hitam dan putih menjadi kabur jika hanya dipandang dari sudut pandang moralistis semata. Sebab dalam realitasnya, b...

Membersihkan Rasa, Menjemput Bahagia

Membersihkan Rasa, Menjemput Bahagia Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba Hidup bahagia dan murah rezeki. Bukankah itu dambaan semua manusia? Sebuah impian yang melintasi batas usia, agama, budaya, dan zaman. Setiap insan ingin hidup dalam kelimpahan—bukan hanya materi, tetapi juga kasih, makna, dan ketenangan batin. Namun realitasnya, tak sedikit yang hidupnya dililit kesulitan. Kebahagiaan terasa jauh, rezeki seperti tersendat. Mengapa? Sebagian orang berkata, “Itu memang sudah takdir.” Sebagian lain menyalahkan nasib buruk, keadaan, atau bahkan karma leluhur. Namun benarkah demikian? Ataukah sesungguhnya, manusia sendiri belum mengenali kekuatan agung yang telah Tuhan anugerahkan dalam dirinya? Manusia dan Pemberian Ilahi Tuhan tidak menciptakan manusia tanpa maksud. Ia menganugerahkan tiga kekuatan utama: bayu, sabda, dan idep—tenaga, suara, dan pikiran. Inilah bekal utama manusia untuk menata hidup, memaknai keberadaan, dan mengubah nasibnya. Namun ban...

UPACARA NGUNGGAHANG DEWA PITARA ATAU NILAPATI

UPACARA NGUNGGAHANG DEWA PITARA ATAU NILAPATI Nara sumber: Ida Pedanda Gede Mandara Putra Kekeran. leh: Ida Bagus Ngurah Semara M . Upacara Nilapati atau ngunggahang Dewa Pitara ke Sanggah Kemulan merupakan kelanjutan dari pelaksanaan upacara penganyutan. Yang dihanyutkan dalam upacara tersebut adalah taulan atau abu jasadnya, bukan Panca Maha Bhuta-nya. Panca Maha Bhuta telah disucikan pada proses penyucian terakhir melalui pelaksanaan upacara pemukuran. Dengan demikian, kesucian dan kemurniannya telah kembali seperti semula. Ditinjau dari sudut Tattwa (Prakerthi Tattwa), Panca Maha Bhuta telah mengalami transformasi sifat menjadi Panca Tan Matra , lalu menjadi Tri Guna , kemudian menjadi unsur Budhi . Dalam pelaksanaan upacara pemukuran atau penyekahan, unsur Budhi diproses menjadi Mahat . Proses penyucian ini dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara Nilapati , di mana unsur Mahat kembali menyatu menjadi kekuatan Sang Hyang Prakerti. Perubahan ini tergambar dari...

Cermin Semesta

Cermin Semesta Oleh: @Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba "Yad Bhāvam Tad Bhavati" – Sebagaimana pikiranmu, demikianlah realitamu terjadi. (Chandogya Upanishad 3.14.1) Semesta adalah cermin. Ia tidak menilai kita berdasarkan moral, agama, jabatan, atau pujian dari orang lain. Ia tidak bekerja dengan sistem hadiah atau hukuman seperti yang sering kita jumpai dalam tatanan sosial. Semesta hanya bekerja berdasarkan getaran: ia memantulkan, bukan menghakimi. Dalam ajaran Hindu Bali, hal ini selaras dengan prinsip Tat Twam Asi – "Aku adalah kamu, dan kamu adalah aku." Ini bukan sekadar ajaran etika sosial, tapi petunjuk metafisika mendalam: bahwa apa pun yang kita pancarkan—dalam pikiran, kata-kata, dan tindakan—akan kembali kepada kita. Bukan karena semesta ingin membalas, tetapi karena hukum resonansi itu nyata dan aktif. Kitab-kitab suci Veda dan Upanishad secara halus sudah mengajarkan hukum ini ribuan tahun lalu. Dalam Sarasamuscaya disebutka...

Cermin Semesta

Cermin Semesta Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba "Yad Bhāvam Tad Bhavati" – Sebagaimana pikiranmu, demikianlah realitamu terjadi. (Chandogya Upanishad 3.14.1) Semesta adalah cermin. Ia tidak menilai kita berdasarkan moral, agama, jabatan, atau pujian dari orang lain. Ia tidak bekerja dengan sistem hadiah atau hukuman seperti yang sering kita jumpai dalam tatanan sosial. Semesta hanya bekerja berdasarkan getaran: ia memantulkan, bukan menghakimi. Dalam ajaran Hindu Bali, hal ini selaras dengan prinsip Tat Twam Asi – "Aku adalah kamu, dan kamu adalah aku." Ini bukan sekadar ajaran etika sosial, tapi petunjuk metafisika mendalam: bahwa apa pun yang kita pancarkan—dalam pikiran, kata-kata, dan tindakan—akan kembali kepada kita. Bukan karena semesta ingin membalas, tetapi karena hukum resonansi itu nyata dan aktif. Kitab-kitab suci Veda dan Upanishad secara halus sudah mengajarkan hukum ini ribuan tahun lalu. Dalam Sarasamuscaya disebutkan: "Yan ikang s...

Kenali Dirimu, Pulanglah Sebelum Terlambat

Kenali Dirimu, Pulanglah Sebelum Terlambat Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara M. Tubuh kita hadnyalah tempat singgah sementara bagi jiwa. Saat ajal tiba, tidak semua jiwa siap kembali ke asalnya. Banyak yang tersesat, bukan karena diganggu oleh makhluk halus, melainkan karena ketidaktahuan akan jati diri mereka sendiri. Sejak lahir, mereka tidak pernah belajar mengenali asal-usul, tujuan hidup, atau peran suci yang dibawa dalam kehidupan. Ketika kematian mendekat, kebingungan itu memuncak—termanifestasi menjadi apa yang kerap kita sebut sebagai penampakan. Namun sejatinya, penampakan bukanlah untuk menakut-nakuti. Ia adalah bentuk komunikasi terakhir dari jiwa yang tak lagi memiliki suara. Jiwa hanya memiliki energi, dan ketika energi itu tidak dikenali atau tidak dipahami, ia sering terasa sebagai ketidaknyamanan. Padahal, mereka hanya ingin diingat, didoakan, atau disadari keberadaannya. Pernah seseorang berkata, " Kenali Dirimu, Pulanglah Sebelum Terlambat Meski sebagian dari kita ...