Langsung ke konten utama

Postingan

Belajar dari Kisah Mesatya dalam Hindu

  Rekontekstualisasi Ajaran dan Tradisi: Belajar dari Kisah Mesatya dalam Hindu Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba Kitab suci, dalam pandangan agama apa pun, adalah sumber nilai yang bersifat tetap —tidak dapat dihapus atau diubah. Ayat-ayatnya tetap tertulis, tetapi konteks penerapannya bergerak mengikuti arus zaman. Dunia terus berubah, baik dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, maupun hukum. Perubahan ini tidak bisa kita hentikan, tidak peduli apakah kita menyukainya atau tidak. Yang dapat kita lakukan adalah menafsirkan ulang makna ayat atau tradisi tersebut agar tetap selaras dengan kemanusiaan, pendidikan, kecerdasan, dan kesejahteraan zaman ini. Dalam konteks agama Hindu, salah satu contoh yang mencolok adalah praktik mesatya —ritual di mana seorang istri ikut mengakhiri hidupnya dengan terjun ke api unggun setelah suaminya (biasanya raja atau bangsawan) meninggal dunia. Pada masa lalu, mesatya dipandang sebagai bentuk kesetiaan yang luhur. Namun, sejarah d...

Pradwija dalam Hindu Bali

  Pradwijati dalam Hindu Bali Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba Menjadi wiku ( medwijati ) adalah sebuah perjalanan batin yang mendalam, bukan sekadar perubahan status sosial, bukan pula perubahan penampilan lahiriah. Jalan ini adalah brata agung —pengorbanan suci di mana seluruh kehidupan dipersembahkan sepenuhnya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa . Setiap detik napas, setiap gerak, setiap kata menjadi yajña —persembahan tulus tanpa pamrih. Seorang calon wiku tidak sekadar menanggalkan pakaian duniawi, tetapi juga menanggalkan seluruh identitas ego, kemelekatan pada harta, jabatan, bahkan pengakuan dari manusia. Ia memulai perjalanan menuju keheningan batin, di mana satu-satunya tujuan adalah menyatu dengan kesadaran tertinggi. Namun, di zaman ini, sering kali kebangkitan spiritual disalahartikan. Banyak orang merasa bahwa kembali rajin sembahyang setelah mengalami penderitaan berarti sudah mencapai puncak rohani. Padahal, itu hanyalah gerbang awal —langkah pertama ...

Dewasa Pawiwahan

Dewasa Pawiwahan: Harmoni Pakem Lontar dan Pengalaman Lapangan Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara M. Dalam tradisi Hindu Bali, pawiwahan atau perkawinan bukan sekadar penyatuan dua insan, melainkan sebuah manusa yadnya yang menentukan perjalanan hidup, keturunan, dan keharmonisan keluarga. Karena itu, memilih dewasa ayu pawiwahan (hari baik untuk menikah) menjadi hal yang sangat penting. Penentuan hari baik umumnya berlandaskan pada pakem wariga : perhitungan wewaran (hari pasaran), penanggal (fase bulan), sasih (bulan), dan wuku (mingguan siklus 30 wuku). Namun, dari pengamatan lapangan sejak tahun 1972, terdapat fakta empiris yang memperkaya bahkan terkadang mengoreksi pengetahuan tekstual tersebut. Artikel ini berusaha mempertemukan ajaran lontar dengan pengalaman nyata agar masyarakat mendapatkan panduan yang lebih utuh dan bijak. I. Dasar Pakem Wariga Menurut lontar dan tradisi wariga, dewasa pawiwahan dipengaruhi oleh beberapa faktor: Wewaran Triwara : Be...

Banten Pejati

Banten Pejati:  Simbol Visual Proses Penciptaan Alam Semesta dalam Tradisi Hindu Bali  Oleh : IBN. Semara M. Banten Pejati,  jauh lebih dari sekadar persembahan ritual dalam upacara keagamaan Hindu Bali,  merupakan representasi visual yang kaya akan simbolisme,  mencerminkan proses penciptaan alam semesta menurut kosmogoni Bali.  Ia bukan hanya sekadar susunan sesaji,  tetapi sebuah narasi visual yang mengungkap perjalanan kosmis dari ketiadaan hingga manifestasi alam semesta yang megah. Perjalanan ini dimulai dari Nirguna Brahman,  keadaan Tuhan yang tak terdefinisi dan transenden.  Dalam Banten Pejati,  keadaan ini dilambangkan oleh Banten Daksina dengan 13 elemennya.  Setiap elemen,  dari daun kelapa muda (busung) hingga sebutir beras,  mewakili potensi energi dan materi yang belum terdiferensiasi.  Bayangkan,  kehampaan sebelum segala sesuatu ada. Kemudian,  muncullah Saguna Brahman,  manifestasi ...

Cinta Yang Menyamar

  Narsisis: Cinta yang Menyamar, Kuasa yang Bersembunyi Jalan Dharma di Tengah Jerat Ego Oleh : IBN Semara M. Pendahuluan: Cinta yang Membawa Luka Cinta, dalam ajaran Hindu, adalah salah satu ekspresi tertinggi dari kehendak Ilahi. Ia hadir bukan hanya sebagai rasa, tapi sebagai laku. Sebagai jembatan yang menghubungkan dua jiwa dalam rangka pelaksanaan dharma, pertumbuhan karma, dan menuju puncak moksha—kebebasan batiniah. Namun, tak semua yang datang dalam rupa cinta benar-benar berasal dari tempat suci. Tak semua yang terlihat lembut itu tulus. Ada cinta yang menyamar. Ada kasih yang ternyata adalah jerat. Dan dalam dunia batin manusia, salah satu bentuk cinta palsu paling licik adalah cinta dari seorang narsisis. 1. Wajah Narsisisme: Ketika Cinta Menjadi Topeng Seorang narsisis bukan sekadar pribadi yang bangga pada diri sendiri. Narsisme adalah luka batin yang dibungkus topeng keagungan. Mereka tampak percaya diri, menyenangkan, bahkan memukau. Namun di balik s...

Yadnya Kesadaran: Jalan Pulang Menuju Sumber Cahaya

Yadnya Kesadaran: Jalan Pulang Menuju Sumber Cahaya Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba   Nafas Yadnya di Dalam Diri Kadang kita merasa, yadnya adalah sesuatu yang besar, megah, dan penuh asap dupa yang membumbung ke langit. Kita membayangkannya sebagai upacara, sesajen, bebantenan, mantra, dan serangkaian ritual di pelataran suci. Namun sesungguhnya, yadnya bukan hanya sesuatu yang dilakukan tangan, tetapi juga yang diam-diam tumbuh dari kesadaran. Ia bukan sekadar persembahan luar, tapi lebih dalam lagi—persembahan batin kepada kehidupan. Yadnya bukan hanya ritual. Ia adalah cara semesta mengajarkan manusia untuk hidup dalam ketulusan, pengorbanan tanpa pamrih, dan cinta yang tidak meminta balasan. Ia ada dalam senyum seorang ibu saat menanak nasi, dalam peluh seorang petani yang tak henti mencangkul sawahnya. Dalam diam seorang guru yang terus mengajar walau tak pernah dimuliakan. Yadnya bukan hanya persembahan kepada Tuhan, tetapi juga kepada sesama, kepada alam...

Semesta sebagai Tuhan, Manusia sebagai Pantulan-Nya

Hawking dan Hindu: Dialog Kosmik Antara Sains dan Spiritualitas   (Ekspansi Artikel oleh Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba dengan Penambahan Perspektif Kontemporer)   Paradoks Penciptaan dalam Sains dan Vedanta Ketika Stephen Hawking menyatakan bahwa _"hukum gravitasi memungkinkan alam semesta menciptakan dirinya dari ketiadaan"_, ia sebenarnya mengulang pertanyaan yang telah diajarkan dalam  Nasadiya   Sukta (Rigved10.129)  3.000 tahun lalu:   > _"Apakah ada 'ketiadaan' atau 'keberadaan' di awal? Bahkan para dewa tidak tahu, karena mereka lahir setelah penciptaan."_     Perbedaan mendasar:   -  Sains Barat Modern : "Ketiadaan" = vakum kuantum (ruang tanpa materi tetapi berisi energi fluktuatif).   -  Hindu Dharma : "Ketiadaan" =  Nirguna Brahman  (realitas non-dual tanpa atribut), yang dalam  Mandukya   Upanishad  disebut sebagai _"Turiya"_ - keadaan kesadaran melampaui ti...
Suara yang Tak Pernah Padam Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba.   Pengetahuan Abadi tentang Hakikat Hidup Langit malam di tepi Sungai Sarasvati memantulkan gemintang seperti kepingan api yang abadi. Di sana, ribuan tahun silam, para Rsi mendengar Sruti—bisikan alam semesta yang terangkum dalam Veda. Bukan sekadar kata-kata, melainkan ilmu yang tak lekang zaman. "Na jāyate mriyate vā kadācin…" (Ia tak lahir, tak mati, tak berawal, tak berakhir…) Kalimat itu menggema dalam gelap, menjawab pertanyaan paling purba: Siapa kita sebenarnya?   Sang Atma – Penjelajah Kekal Awan tebal menyelimuti gunung ketika Rsi Vyasa berbisik kepada muridnya: "Kau bukanlah tubuh ini. Kau adalah atma—roh yang abadi, hanya berpakaian daging dan tulang untuk sementara. Seperti baju yang kau ganti, kau pun akan mengenakan kehidupan demi kehidupan…" Sloka Bhagavad Gita 2.20 mengukirnya dalam bahasa suci: "Ia tak pernah lahir, tak akan...