Langsung ke konten utama

Postingan

Cahaya Satu, Wajah Beragam

Cahaya Satu, Wajah Beragam Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba. Ketika kita berbicara tentang Hindu, kita sesungguhnya sedang menyusuri jalan panjang sebuah ajaran yang lahir dari kedalaman batin manusia, ajaran yang telah menyeberangi ribuan tahun peradaban. Hindu sering disebut sebagai Sanātana Dharma, dharma abadi yang tidak berawal dan tidak berakhir, sebab ia bukan hasil ciptaan seseorang, melainkan pancaran kesadaran yang muncul dari semesta itu sendiri. Ajaran yang universal ini adalah akar yang menancap dalam di tanah kehidupan manusia, memberi arah, memberi makna, sekaligus memberi tujuan. Dari akar itulah tumbuh cabang dan ranting yang menjulur ke segala penjuru, salah satunya mekar di pulau kecil bernama Bali. Maka lahirlah Hindu Bali, sebuah wajah lokal dari ajaran universal yang kaya dengan simbol, ritual, dan kearifan budaya. Hindu universal menampakkan dirinya dalam bentuk filsafat yang dalam dan terbuka. Ia tidak terikat oleh ruang, tidak dibatasi oleh wa...

Kebahagian Sejati

Kebahagiaan Sejati Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba Ada masa ketika hidup membawa kita pada ruang hening, ruang di mana tak ada lagi suara ramai dunia yang membius telinga. Di situlah kita mulai mengenal kesendirian . Ia bukan musuh, bukan pula kutukan, melainkan sebuah undangan untuk menengok ke dalam. Dalam kesendirian, kita belajar bahwa dunia luar hanyalah cermin. Segala gemuruh, pujian, dan celaan hanyalah gema yang tak pernah abadi. Yang abadi justru adalah suara lirih di dalam hati, yang sering kita abaikan karena terlalu sibuk mengejar hiruk-pikuk dunia. Namun ada kalanya kesendirian itu berubah wajah menjadi kesepian . Inilah saat ketika hening terasa menusuk, ketika malam panjang seolah hanya menyisakan sunyi yang dingin. Kesepian adalah saat jiwa merindukan kehadiran, namun tak tahu pada siapa harus bersandar. Banyak orang berlari mengusir kesepian dengan keramaian semu, padahal sesungguhnya ia adalah guru yang mengajarkan bahwa keutuhan tidak datang dari...

Susunan Bunga Puspa Lingga: Simbol Atma Lingga dalam Upacara Atma Wedana

Susunan Bunga Puspa Lingga: Simbol Atma Lingga dalam Upacara Atma Wedana Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba Dalam khazanah ritual Hindu Bali, setiap sarana upacara tidak pernah hadir begitu saja tanpa makna. Semua tersusun melalui simbol, tatwa, dan kearifan turun-temurun yang diwariskan oleh para leluhur. Salah satu sarana yang paling sarat makna dalam upacara atma wedana atau atma pratista adalah puspa lingga, rangkaian bunga yang tidak hanya indah dipandang, tetapi juga memuat simbol filosofi mendalam tentang perjalanan atma menuju penyucian dan penyatuan dengan sumbernya. “Puspa” berarti bunga, lambang keharuman dan kesucian, sementara “lingga” adalah simbol purusa, kekuatan Sang Hyang Widhi dalam wujud paling halus yang tidak terbayangkan oleh indra manusia. Ketika keduanya digabung menjadi “puspa lingga”, ia menjadi perlambang dari atma lingga, yaitu perwujudan roh atau jiwa manusia yang sedang diupacarai, khususnya dalam atma wedana sebagai penyucian roh ...

Menyembuhkan Tubuh, Pikiran, dan Batin secara Kuantum dan Supranatural

Penyembuhan Energi – Menyembuhkan Tubuh, Pikiran, dan Batin secara Kuantum dan Supranatural Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba Setiap penyakit sejatinya berakar dari energi. Tubuh kita bukan hanya susunan daging, darah, dan tulang, melainkan juga jaringan halus dari getaran kehidupan yang disebut prana atau chi. Ketika pikiran dipenuhi kecemasan, ketika batin diselimuti kemarahan atau dendam, getaran itu mengendap menjadi blok energi yang mengganggu keseimbangan tubuh. Sains modern menyebutnya gangguan bio-elektromagnetik, sedangkan kearifan leluhur menamainya prana yang tersumbat. Keduanya menunjuk pada hal yang sama: bahwa akar penyakit seringkali lahir jauh sebelum gejala fisik muncul. Pikiran ibarat pemrogram yang mengarahkan aliran energi. Tubuh hanyalah penerima yang taat pada pola vibrasi yang dipancarkan pikiran itu. Saat kita menanamkan rasa syukur dan kasih, medan energi tubuh memancarkan getaran terang yang menyembuhkan. Tetapi ketika kita larut dalam...

Banten Peras.

Banten Peras: Simbol Purusa dan Aliran Panca Sakti dalam Kehidupan Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Di atas taladan, persembahan itu tertata rapi, seperti alam semesta mini yang berbisik lembut. Taladan, segi empat panjang yang disebut catur loka , bukan sekadar alas, tetapi cermin kosmos. Empat penjuru hadir di setiap sudutnya, mengingatkan bahwa Sang Hyang Widhi ada dalam setiap napas, detak hati, dan langkah manusia. Banten Peras bukan sekadar janur dan jajan. Ia adalah mikrokosmos yang tertata, mengajarkan manusia tentang hubungan antara Tuhan, alam, dan dirinya sendiri. Lebih dari itu, Banten Peras adalah simbol Purusa , roh yang menghidupkan tubuh, pikiran, dan hati manusia. Setiap elemen menjadi suara Purusa, menuntun manusia memahami diri, semesta, dan Tuhan. Fondasi dari persembahan ini adalah Tri Jñāna Sakti —tiga kerangka utama agama Hindu: Tattwa, Etika, dan Upacara. Tattwa adalah prinsip kosmik, kebenaran universal yang mengikat seluruh ciptaan. Etika adalah j...

Daun Beringin dalam Ritus Memukur: Simbol Kesadaran dan Pelepasan

  Daun Beringin dalam Ritus Memukur: Simbol Kesadaran dan Pelepasan Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba. Dalam jagat Hindu Bali, setiap upacara tidak pernah lepas dari simbol-simbol alam yang sarat makna. Salah satunya adalah pemakaian daun beringin dalam ritus memukur , sebuah prosesi yang menandai pelepasan roh leluhur menuju alam yang lebih tinggi, dari bhuwana alit menuju bhuwana agung, dari ikatan dunia menuju kebebasan mokṣa. Pohon beringin ( Ficus benjamina ), dalam banyak teks tattva, dimaknai sebagai lambang keteguhan dan perlindungan. Ia berdiri tegak dengan akar yang menghunjam ke bumi sekaligus menggantung dari udara, seolah menjembatani langit dan bumi. Karena itulah, dalam Siwa Tattwa disebutkan: “Wṛkṣa wringin prabhāwa Sang Hyang Siwa ring jagat, nyuhunaken teduh ring sarwa prani, mwang nira nika dadi panuntun ring atma tumut ring mokṣa.” (Pohon beringin adalah perwujudan Siwa di dunia, memberi keteduhan bagi seluruh makhluk, dan menjadi penuntun roh men...

“Antara Dupa dan Makna: Menemukan Hindu yang Hidup” Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara

“Antara Dupa dan Makna: Menemukan Hindu yang Hidup” Om Swastyastu Sejak menjejak bumi sudah berselimut Hindu, namun mengapa cahaya pengetahuan masih redup? Mengapa langkah spiritual berhenti pada tradisi, bukan kesadaran? Kita lahir dalam alunan mantra, dalam harum dupa, dalam gemerincing genta di pelataran pura. Dari kecil kita sudah diajak melangkah di jalur upacara. Tangan mungil kita digandeng ke bale banjar, ke merajan, ke pura desa. Kita diajari membuat canang sari, menata sesajen, menyusun janur, mengikat bunga, dan menyalakan dupa. Semua itu indah. Semua itu sakral. Namun, di balik keindahan itu, sering kali ada pertanyaan yang tidak terjawab: apa makna dari semua ini? Banyak dari kita tumbuh besar dengan rutinitas ritual, tetapi tidak pernah benar-benar diajak berdiskusi. Canang hanya menjadi persembahan wajib. Sembahyang hanya menjadi kewajiban adat. Upacara menjadi identitas budaya. Tetapi jiwa kita jarang disentuh oleh pengetahuan yang menghidupkan kesadaran. Pa...

Ketika Hawa Nafsu Mengalahkan Śāstra

  Ketika Hawa Nafsu Mengalahkan Śāstra Di dunia yang bergerak semakin cepat, manusia makin sering memilih hidup mengikuti dorongan—keinginan, hasrat, insting. Segala sesuatu diukur dengan “apa yang aku mau”, bukan “apa yang seharusnya benar”. Dalam keramaian pikiran yang makin bising, ajaran suci sering kali ditinggalkan, diganti dengan nafsu yang menyamar menjadi kebutuhan modern. Padahal, ribuan tahun silam, Śrī Kṛṣṇa sudah mengingatkan lewat Bhagavad Gītā bab 16 śloka 23: yaḥ śāstra-vidhim utsṛjya vartate kāma-kārataḥ na sa siddhim avāpnoti na sukhaṁ na parāṁ gatim "Barang siapa meninggalkan petunjuk śāstra dan bertindak hanya menurut hawa nafsunya, ia tidak akan mencapai kesempurnaan, tidak meraih kebahagiaan, dan tidak sampai pada tujuan tertinggi." Petunjuk yang Sering Terabaikan Śāstra bukan sekadar teks kuno. Ia adalah kompas moral yang menuntun manusia agar tidak tersesat dalam pusaran keinginan. Tetapi, saat manusia merasa “cukup pintar”, ia meningga...