Langsung ke konten utama

Postingan

“Saat Bakti Menjadi Bijak”

“Saat Bakti Menjadi Bijak” Banyak orang masih keliru memahami spiritualitas. Semakin gaib, semakin mistis, semakin banyak ritual yang dilakukan dengan biaya besar—sering dianggap sebagai tanda bahwa seseorang semakin tinggi tingkat rohaninya. Padahal, semakin seseorang tumbuh dalam spiritualitas sejati, justru ia semakin rasional. Ia tidak menelan mentah-mentah mitos, tidak silau pada simbol, dan tidak memuja kemewahan upacara. Ia menapaki hidup dengan keseimbangan antara logika, rasa, dan kebijaksanaan. Spiritualitas sejati adalah keselarasan. Ia bukan hanya mengandalkan otak kiri yang penuh perhitungan, dan bukan pula semata-mata otak kanan yang larut dalam rasa. Ia adalah titik temu antara keduanya. Rasionalitas membuatnya paham hukum sebab-akibat, sementara intuisi menuntun pada kehalusan hati. Dari sinilah lahir sikap yang tidak ekstrem: pengalaman batin bisa dijelaskan dengan bahasa sederhana, rendah hati, dan tidak arogan. Dalam perkembangan manusia, kecerdasan serin...

Empati Tanpa Kitab

Empati Tanpa Kitab Manusia kerap diyakinkan bahwa kitab suci adalah syarat agar ia mampu berbuat baik. Namun, mari kita membuka mata sejenak. Seekor hewan pun mampu menolong kawannya yang hampir celaka, tanpa mengenal kitab, tanpa mengerti pahala, tanpa takut neraka. Yang dimilikinya hanyalah denyut empati, yang lahir begitu alami dari jantung kehidupan. Saat melihat kawannya panik, getaran itu menjalar ke dalam dirinya. Seolah suara sunyi di dalam hati berkata: jika ia menderita, aku pun merasakannya. Maka tubuhnya bergerak, menembus air, meraih, menyelamatkan. Dan ketika kehidupan kembali pulih, hadir rasa lega, rasa damai yang sederhana. Tidak ada janji surga yang menunggu, tidak ada ancaman neraka yang membayangi. Hanya kasih yang lahir dari rahim semesta. Maka renungan pun hadir: bila seekor hewan saja mampu menunjukkan kepedulian tanpa pamrih, mengapa manusia—yang menyebut dirinya makhluk berakal—sering masih menimbang kebaikan dari pahala, atau menakar cinta dari anc...

“Segalanya Adalah Brahman”

“ Segalanya Adalah Brahman” Baruch Spinoza, filsuf Belanda abad ke-17, pernah mengguncang dunia filsafat dengan gagasan berani: Tuhan dan alam semesta adalah satu substansi. Ia menyebutnya Deus sive Natura — Tuhan atau Alam. Bagi Spinoza, tidak ada sesuatu pun di luar Tuhan, karena seluruh realitas adalah ekspresi-Nya. Pemikiran ini kemudian dikenal sebagai panteisme, keyakinan bahwa Tuhan adalah segalanya, dan segalanya adalah Tuhan. Tuhan tidak berada jauh di langit, melainkan hadir di setiap hukum alam, setiap denyut kehidupan, setiap gerak partikel. Ia transenden, melampaui ruang dan waktu, sekaligus imanen, meresapi segala yang ada. Dalam Hindu, kita menemukan gema yang seirama. Upanishad menegaskan: “Sarvam khalvidam Brahma” — sesungguhnya segala yang ada ini adalah Brahman. (Chandogya Upanishad 3.14.1) Bhagavad Gita pun mengajarkan: “Aku adalah benih dari segala makhluk, tiada satupun yang dapat hidup tanpa Aku.” (Bhagavad Gita 10.39) Spinoza menolak gambaran Tuhan y...

Hati YangbHidup

Hati yang Hidup Doa sering disalahpahami. Banyak dari kita mengira doa adalah cara untuk menggerakkan Tuhan, seakan air mata dan kata-kata permohonan kita bisa mengubah kehendak-Nya. Kita berharap, semakin keras kita memohon, semakin cepat keinginan itu terpenuhi. Namun, ketika doa tak terkabul, kemarahan dan kecewa pun muncul. Padahal, yang sebenarnya kita hadapi bukan Tuhan yang menolak, melainkan nafsu dan keinginan diri sendiri. Dalam ajaran Hindu Bali, doa adalah cermin hati. Ia bukan sekadar meminta, melainkan sarana untuk menundukkan ego, menata pikiran, dan menyelaraskan diri dengan alam semesta. Doa adalah bentuk Bakti, pengingat bahwa manusia dilahirkan untuk berbakti, bukan untuk menuntut dunia berubah. Setiap kata yang diucapkan, setiap napas yang dihembuskan saat berdoa, adalah langkah kecil menuju kesadaran diri. Doa yang sejati menenangkan jiwa: kesombongan menjadi kerendahan hati, kegelisahan menjadi ketenangan, kekerasan hati menjadi lembut, dan hati yang s...

Tumpek Landep

Tumpek Landep: Menajamkan Pikiran Menurut Lontar Sundari Bungkah dan Agastya Prana Hari raya Tumpek Landep kerap dipahami masyarakat sebagai hari penyucian benda-benda tajam, keris, senjata logam, bahkan dalam konteks modern meluas hingga kendaraan bermotor. Namun, jika menengok pada sumber-sumber lontar, makna sejatinya jauh lebih halus dan mendalam. Tumpek Landep adalah momentum untuk menajamkan idep, menyucikan manah, serta memohon anugerah Sang Hyang Pasupati agar manusia diberi kecerdasan membedakan jalan dharma dan adharma. Dalam Lontar Sundari Bungkah terdapat ajaran yang menyingkap lapisan makna ini: > “Yan hana tumpek landep, Sang Hyang Siwa Pasupati mapuja. Ika tan hana makawruhan ring keris niskala, keris ring sarira, ikang manah sang pamilih becik lawan awon.” Artinya, “Pada hari Tumpek Landep, yang sesungguhnya dipuja adalah Sang Hyang Siwa Pasupati. Janganlah hanya dipahami sebatas keris yang tampak oleh mata, melainkan juga keris niskala yang ada dalam dir...

AlamRasa

AlamRasa Om Swastyastu  Berapa lama lagi manusia akan mencari Tuhan hanya lewat kata-kata, lewat buku, lewat dalil, lewat konsep yang saling bersahutan? Semua itu penting, namun pada akhirnya harus ditundukkan. Sebab ada wilayah yang tak bisa dijangkau oleh akal dan kata. Di wilayah itu hanya keheningan yang mampu menuntun jiwa pulang. Dalam ajaran Hindu Bali dikenal mauna, diam suci. Diam yang bukan sekadar menahan bicara, melainkan hening di pikiran, teduh di hati, dan lapang di jiwa. Justru dalam diam itu atman dapat mendengar kembali bisikan halus dari Brahman. Dan saat hening itu hadir, barulah tersadar bahwa jarak dengan Sang Hyang Widhi sebenarnya tidak pernah ada. Yang jauh hanyalah pikiran yang terus berlari ke luar. Menjadi seperti anak kecil barangkali adalah jalan yang paling dekat. Anak kecil tidak sibuk dengan dalih dan argumen. Ia hanya menangis bila jauh dari ibunya. Demikian pula jiwa yang telah menyentuh rasa; ia hanya rindu bila terasa jauh dari Tuhan...
Nafas dan Rahasia Om dalam Hindu Bali Oleh : Ida Bagus Ngurah Semara M. Sejak manusia lahir, sebelum telinga mendengar suara, sebelum mulut mengeluarkan tangisan, bahkan sebelum kesadaran akan dunia hadir, ada sesuatu yang datang mendahului segalanya: nafas. Tarikan awal itu bukan sekadar udara yang masuk, melainkan pertanda bahwa atma telah bersatu dengan jasad. Pada hela pertama itu sesungguhnya sudah terucap sebuah mantra, mantra yang paling tua dan paling suci: Om . Om bukan sekadar bunyi. Ia adalah getaran semesta, denyut awal dari segala ciptaan, gema yang tidak pernah padam. Dalam Hindu Bali, Om disebut pranava mantra, mantra yang menyatu dengan prana, daya hidup yang mengalir bersama nafas. Ia tidak perlu dicari jauh-jauh, karena sejak kita lahir sudah bersemayam di dalam diri. Sebagaimana diuraikan dalam Mandukya Upanisad: “Om ity etad akṣaram idam sarvam. Tasyo’py etasya vācakaḥ ātmā” — Om adalah aksara suci yang meliputi segalanya, dan ia adalah penunjuk dari Sang Atma it...

Pembinaan pratek keagamaan bagi siswa agama hindu tingkat SMA, Thn. 2023 bertempat di SMK1 Tembuku.

08-09-2023 Pembinaan pratek keagamaan bagi siswa agama hindu tingkat SMA, Thn. 2023 bertempat di SMK1 Tembuku. Narasumber : Ida Bagus Ngurah Semara Manuaba