Langsung ke konten utama

Postingan

Jangan Gadaikan Yadnya dengan Gengsi

Jangan Gadaikan Yadnya dengan Gengsi Ketika yadnya berubah jadi ajang pamer, suci pun kehilangan maknanya. Ada saat di mana yadnya tidak lagi menjadi persembahan, melainkan pertunjukan. Ketika dupa masih mengepul, tetapi hati justru terikat pada pujian dan gengsi. Padahal yadnya sejati bukanlah tentang seberapa besar banten yang dihaturkan, melainkan seberapa tulus hati yang mempersembahkan. Jika yadnya kehilangan kesucian niatnya, maka apa yang semestinya menjadi jalan menuju kebebasan bisa berubah menjadi jerat keterikatan baru. Hakikat Yadnya yang Sebenarnya Dalam kehidupan umat Hindu, yadnya sering dipahami sebagai inti dari dharma, sebab ia adalah wujud bakti dan rasa syukur manusia kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Namun sejatinya, yadnya tidak hanya soal upacara, persembahan, atau besarnya banten yang dihaturkan. Ia adalah gerak kesadaran spiritual yang lahir dari hati yang suci. Dalam Bhagavad Gita Adhyaya XVII dijelaskan bahwa yadnya dibedakan menjadi tiga, sesuai ...

Bhisama Danghyang Nirartha Oleh: Semara Manua. IBN Dalam sejarah perjalanan suci penyebaran Dharma di Bali, nama Danghyang Nirartha bersinar bagaikan cahaya terang di tengah gelapnya zaman peralihan. Beliau bukan hanya seorang pendeta pengembara (dharmaduta), tetapi juga seorang revolusioner spiritual yang mewariskan ajaran mendalam, tertata dalam kesadaran, bukan kemegahan. Jejak beliau tidak hanya meninggalkan pura-pura suci dan karya sastra keagamaan, tetapi juga bhisama, yaitu wasiat suci yang ditujukan khusus kepada para keturunannya. Salah satu bhisama beliau yang paling dikenal adalah larangan memuja pratima — bentuk perwujudan Tuhan dalam arca, batu, atau benda fisik lainnya. Mengapa Pratima Tidak Diperkenankan? Bhisama ini bukanlah penolakan terhadap ajaran Hindu yang menerima pratima sebagai sarana pemujaan, melainkan penekanan pada kesadaran spiritual yang melampaui bentuk. Bagi keturunan Danghyang Nirartha, Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Nirguna Brahman— Tuhan yang tak berbentuk, tak terdefinisi, dan hanya terjangkau melalui keheningan batin dan kejernihan jiwa. Oleh karena itu, pemujaan hanya diperkenankan di hadapan Padmasana, bukan pratima. Padmasana adalah simbol kesucian tertinggi, lambang kekosongan agung (sunya) sebagai tempat bersemayamnya Tuhan yang transenden, tanpa rupa dan tanpa wujud. Padmasana sebagai Wahana Kesadaran Murni Dalam ajaran beliau, Padmasana bukan sekadar pelinggih, melainkan tangga menuju pemahaman keesaan Tuhan. Di sinilah pembeda antara pemujaan berbasis simbol fisik (saguna) dan penyatuan kesadaran (advaita). Umat diajak untuk tidak terjebak pada wujud benda, tetapi melebur dalam vibrasi ilahi yang tak terbatas. Bhisama ini juga menegaskan bahwa keturunan beliau tidak diperbolehkan sembahyang di pura tanpa Padmasana, karena hanya Padmasana yang secara simbolis mengarah pada pemujaan Tuhan dalam wujud Nirguna. Makna Bhisama yang Mendalam Larangan ini mengandung ajaran halus namun dalam: 1. Tuhan tidak memerlukan perantara bentuk. 2. Persembahan tertinggi adalah kesadaran hening, hati tulus, dan pikiran terang — inilah yadnya yang utama. 3. Penolakan terhadap materialisme spiritual, di mana nilai kesucian sering diukur dari kemegahan upacara, bukan kebeningan jiwa. Di era konsumtif saat ini, bhisama ini menjadi pengingat: "Raga pinaka pratima, idep pinaka upacara"(Tubuh adalah pratima, pikiran suci adalah upacara). Melestarikan Warisan Kesadaran Bagi keturunan Danghyang Nirartha, mematuhi bhisama ini adalah: Penghormatan kepada leluhur sekaligus penjagaan kemurnian ajaran. -Jawaban atas modernitas yang penuh simbol dan formalitas, dengan mengajak kembali ke hakikat: Tuhan hadir dalam kesunyian dan kesadaran tak terucap. Penutup: Ajakan untuk Hidup dalam Kesadaran Warisan Danghyang Nirartha bukan sekadar doktrin, tetapi undangan untuk: Menempuh yadnya dalam keheningan batin. Memuja Tuhan dalam ketakterjangkauan-Nya, yang hanya bisa dipeluk oleh hati, bukan mata. "Dalam diam, kita menemukan-Nya; dalam kesadaran, kita menyatu dengan-Nya." ------

Bhisama Danghyang Nirartha Oleh: Semara Manua. IBN Dalam sejarah perjalanan suci penyebaran Dharma di Bali, nama  Danghyang   Nirartha  bersinar bagaikan cahaya terang di tengah gelapnya zaman peralihan. Beliau bukan hanya seorang pendeta pengembara ( dharmaduta ), tetapi juga seorang revolusioner spiritual yang mewariskan ajaran mendalam, tertata dalam  kesadaran , bukan kemegahan. Jejak beliau tidak hanya meninggalkan pura-pura suci dan karya sastra keagamaan, tetapi juga  bhisama , yaitu wasiat suci yang ditujukan khusus kepada para keturunannya. Salah satu bhisama beliau yang paling dikenal adalah larangan memuja  pratima  — bentuk perwujudan Tuhan dalam  arca ,  batu , atau  benda fisik  lainnya.  Mengapa Pratima Tidak Diperkenankan ? Bhisama ini bukanlah penolakan terhadap ajaran Hindu yang menerima pratima sebagai sarana pemujaan, melainkan penekanan pada  kesadaran spiritual yang melampaui bentuk. ...

Dari Dogma ke Spiritualitas

Dari Dogma ke Spiritualitas Sejak awal peradaban, manusia selalu dihantui oleh pertanyaan yang sama: dari mana kita berasal, mengapa kita ada, dan ke mana kita akan kembali. Agama hadir sebagai jawaban awal, sebuah percobaan untuk mengisi kekosongan itu. Ia menyajikan cerita tentang penciptaan, tentang Tuhan, tentang keteraturan semesta, dengan bahasa yang sederhana namun menenangkan hati. Namun, seiring waktu, sains masuk membawa jawaban yang lebih konsisten, lebih teruji, meski sering kali terasa dingin dan rumit. Sains berbicara dengan angka, rumus, dan teori yang kadang sulit dipahami. Agama, sebaliknya, berbicara dengan simbol, cerita, dan harapan. Seperti rasa manis yang tetap dicari meskipun dianggap kurang sehat, agama bertahan karena memberi kenyamanan. Ia membuat manusia merasa tidak sendirian, memberi ruang untuk berharap, bahkan menjadi semacam candu yang menenangkan. Di masa depan, mungkin agama tidak lagi diperlakukan sebagai kebenaran mutlak yang bersaing den...

“Menjaga Pawiwahan Tetap Suci di Tengah Virus Budaya”

“Menjaga Pawiwahan Tetap Suci di Tengah Virus Budaya” Oleh: Ida Bagus Ngurah Semara M. Pawiwahan dalam tradisi Bali adalah salah satu puncak kehidupan spiritual dan sosial. Ia bukan sekadar ikatan lahiriah antara dua insan, melainkan ikatan batin yang disertai restu leluhur dan doa bersama masyarakat. Dalam pawiwahan, manusia mempersembahkan yadnya kepada Sang Hyang Widhi, leluhur, dan masyarakat sekitarnya. Karena itu, pawiwahan disebut suci, penuh makna, dan sarat simbol. Ia bukan perayaan pribadi, melainkan momentum kolektif yang mengikat rasa kebersamaan. Sejak dahulu, undangan dalam pawiwahan bukanlah formalitas kosong. Ketika seseorang datang membawa undangan, ia membawa niat tulus, senyum ramah, dan sapaan hangat. Undangan adalah pengikat sosial yang memelihara tali persaudaraan. Ia hadir sebagai ajakan untuk berbagi doa, bukan sekadar mengisi daftar hadir. Dalam budaya Bali, undangan lebih dari sekadar kertas—ia adalah wujud keterhubungan hati. Namun kini, angin per...

“Saat Bakti Menjadi Bijak”

“Saat Bakti Menjadi Bijak” Banyak orang masih keliru memahami spiritualitas. Semakin gaib, semakin mistis, semakin banyak ritual yang dilakukan dengan biaya besar—sering dianggap sebagai tanda bahwa seseorang semakin tinggi tingkat rohaninya. Padahal, semakin seseorang tumbuh dalam spiritualitas sejati, justru ia semakin rasional. Ia tidak menelan mentah-mentah mitos, tidak silau pada simbol, dan tidak memuja kemewahan upacara. Ia menapaki hidup dengan keseimbangan antara logika, rasa, dan kebijaksanaan. Spiritualitas sejati adalah keselarasan. Ia bukan hanya mengandalkan otak kiri yang penuh perhitungan, dan bukan pula semata-mata otak kanan yang larut dalam rasa. Ia adalah titik temu antara keduanya. Rasionalitas membuatnya paham hukum sebab-akibat, sementara intuisi menuntun pada kehalusan hati. Dari sinilah lahir sikap yang tidak ekstrem: pengalaman batin bisa dijelaskan dengan bahasa sederhana, rendah hati, dan tidak arogan. Dalam perkembangan manusia, kecerdasan serin...

Empati Tanpa Kitab

Empati Tanpa Kitab Manusia kerap diyakinkan bahwa kitab suci adalah syarat agar ia mampu berbuat baik. Namun, mari kita membuka mata sejenak. Seekor hewan pun mampu menolong kawannya yang hampir celaka, tanpa mengenal kitab, tanpa mengerti pahala, tanpa takut neraka. Yang dimilikinya hanyalah denyut empati, yang lahir begitu alami dari jantung kehidupan. Saat melihat kawannya panik, getaran itu menjalar ke dalam dirinya. Seolah suara sunyi di dalam hati berkata: jika ia menderita, aku pun merasakannya. Maka tubuhnya bergerak, menembus air, meraih, menyelamatkan. Dan ketika kehidupan kembali pulih, hadir rasa lega, rasa damai yang sederhana. Tidak ada janji surga yang menunggu, tidak ada ancaman neraka yang membayangi. Hanya kasih yang lahir dari rahim semesta. Maka renungan pun hadir: bila seekor hewan saja mampu menunjukkan kepedulian tanpa pamrih, mengapa manusia—yang menyebut dirinya makhluk berakal—sering masih menimbang kebaikan dari pahala, atau menakar cinta dari anc...

“Segalanya Adalah Brahman”

“ Segalanya Adalah Brahman” Baruch Spinoza, filsuf Belanda abad ke-17, pernah mengguncang dunia filsafat dengan gagasan berani: Tuhan dan alam semesta adalah satu substansi. Ia menyebutnya Deus sive Natura — Tuhan atau Alam. Bagi Spinoza, tidak ada sesuatu pun di luar Tuhan, karena seluruh realitas adalah ekspresi-Nya. Pemikiran ini kemudian dikenal sebagai panteisme, keyakinan bahwa Tuhan adalah segalanya, dan segalanya adalah Tuhan. Tuhan tidak berada jauh di langit, melainkan hadir di setiap hukum alam, setiap denyut kehidupan, setiap gerak partikel. Ia transenden, melampaui ruang dan waktu, sekaligus imanen, meresapi segala yang ada. Dalam Hindu, kita menemukan gema yang seirama. Upanishad menegaskan: “Sarvam khalvidam Brahma” — sesungguhnya segala yang ada ini adalah Brahman. (Chandogya Upanishad 3.14.1) Bhagavad Gita pun mengajarkan: “Aku adalah benih dari segala makhluk, tiada satupun yang dapat hidup tanpa Aku.” (Bhagavad Gita 10.39) Spinoza menolak gambaran Tuhan y...