Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2025

Transformasi Energi di Malam Siwaratri

Transformasi Energi di Malam Siwaratri Oleh : IBN. Semara M. Siwaratri bukan sekadar malam suci dalam ajaran Hindu, tetapi juga momen untuk menyelami kesadaran terdalam. Dalam keheningan malam, ketika doa dan meditasi mengalir, ada sesuatu yang lebih dari sekadar ritual—ada gerakan energi, ada harmoni dengan alam semesta. Jika ditelisik lebih dalam, malam ini bukan hanya perjalanan spiritual, tetapi juga cerminan dari hukum-hukum alam yang mengatur kehidupan dan keterhubungan segalanya. Siwaratri jatuh setiap Tilem Kepitu , bulan mati di bulan Januari, saat alam berada dalam keadaan paling gelap. Dalam tradisi Hindu, kegelapan ini bukan hanya fenomena astronomi, tetapi juga simbol dari ketidaktahuan yang menyelimuti kesadaran manusia. Malam ini menjadi waktu yang tepat untuk menghapus kegelapan batin dan mendekatkan diri pada kebijaksanaan ilahi. Latar belakang perayaan ini berasal dari kisah Lubdaka , seorang pemburu yang secara tidak sengaja melakukan tapa brata...

Proses Kelahiran Manusia dalam Perspektif Sains dan Pengetahuan Leluhur Bali

Ajaran Kandapat: Selaras dengan Proses Kelahiran Manusia dalam Perspektif Sains dan Pengetahuan Leluhur Bali 18-03-2004 0leh: IBN. Semara M. Kehidupan manusia selalu dipenuhi dengan misteri yang menghubungkan kita dengan alam semesta. Dalam ajaran Bali, khususnya konsep Kandapat , kita diajarkan tentang hubungan erat antara tubuh manusia, energi, dan alam. Konsep ini tidak hanya memiliki akar spiritual yang dalam, tetapi juga selaras dengan pemahaman ilmiah tentang kehidupan dan proses kelahiran manusia. Menurut ajaran Kandapat , tubuh manusia tidak hanya sekadar wadah fisik, tetapi juga merupakan manifestasi dari kekuatan-kekuatan alam semesta yang tak terlihat. Proses kelahiran manusia dimulai dengan penyatuan dua sel—sperma dan telur—yang menciptakan kehidupan baru. Energi yang tak kasat mata, tetapi sangat cerdas, mendorong pembelahan sel dan pembentukan tubuh manusia yang kompleks. Namun, dalam ajaran Bali, perjalanan energi ini lebih dalam lagi, dengan menge...

Kenangan di Kaki Gunung Lawu: Harmoni Alam, Sejarah, dan Kebersamaan

Kenangan di Kaki Gunung Lawu: Harmoni Alam, Sejarah, dan Kebersamaan Juni 1976 Oleh; IBN. Semara M. Ketika saya bersama teman-teman Resimen Mahasiswa seluruh Indonesia tinggal di kaki Gunung Lawu pada Juni 1976, pengalaman tersebut menjadi salah satu momen berharga yang mengajarkan arti kebersamaan, keindahan alam, dan kedalaman sejarah. Di bawah bayang-bayang Gunung Lawu, kami menyaksikan keagungan alam yang berpadu dengan nilai-nilai spiritual dan sejarah yang kental, membuat waktu kami di sana terasa begitu bermakna. Gunung Lawu, dengan ketinggiannya yang mencapai 3.265 meter di atas permukaan laut, seolah menjadi saksi bisu atas kekayaan sejarah dan budaya Nusantara. Terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, gunung ini tidak hanya menawarkan keindahan alam yang memukau, tetapi juga menyimpan warisan Kerajaan Majapahit, seperti Candi Ceto, Candi Sukuh, dan berbagai petilasan Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Kehadiran kami di tempat itu teras...

Makna Harmoni di Balik Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon

Makna Harmoni di Balik Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon Oleh : IBN Semara M. Menurut Ida Pedanda Gede Mandara Putra Kekeran Pemaron, Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon bukan sekadar hari-hari suci dalam kalender Hindu, tetapi juga momentum spiritual untuk menyelaraskan energi antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Ketiga hari ini mengajarkan keseimbangan, pembersihan diri, dan penguatan spiritual yang menjadi fondasi kehidupan umat Hindu. Purnama, saat bulan mencapai puncak terang, melambangkan cahaya ilahi yang menyinari setiap sudut kehidupan. Pada hari ini, umat Hindu mempersembahkan upakara seperti canang sari, pejati, dan daksina kepada Sang Hyang Chandra. Ritual sederhana seperti segehan kecil di halaman rumah menjadi simbol permohonan agar diberi kebahagiaan, kejernihan pikiran, dan perlindungan. Sebaliknya, Tilem, ketika bulan menghilang dari langit, mengingatkan manusia untuk merenungi kelemahan diri. Gelapnya malam Tilem adalah waktu yang tepat untuk melepaskan energi neg...

Makna Harmoni dalam Kehidupan di Balik Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon

Makna Harmoni dalam Kehidupan di Balik Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon Oleh: IBN. Semara M. Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon, meskipun sering dilihat sebagai hari-hari suci dalam kalender Hindu Bali, menyimpan makna yang jauh lebih dalam.  Ida Pedanda Gede Mandara Putra Kekeran , mengajarkan bahwa ketiga hari ini bukan hanya sekadar waktu yang ditandai dengan ritual, tetapi juga momen spiritual untuk menyelaraskan energi antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Melalui pemahaman yang mendalam, umat Hindu dapat menemukan keseimbangan, pembersihan diri, dan penguatan spiritual yang merupakan fondasi kehidupan yang lebih harmonis. Pada saat Purnama , ketika bulan mencapai puncak sinarnya, kita diingatkan akan cahaya ilahi yang hadir untuk menerangi segala aspek kehidupan. Ini adalah momen ketika umat Hindu mempersembahkan berbagai bentuk upakara—canang sari, pejati, daksina—sebagai simbol rasa syukur dan permohonan akan kebahagiaan, kejernihan pikiran, serta ...

Mengubah untuk menemukan kekosongan

M engubah Alam Semesta untuk Menemukan Kekosongan Dalam tradisi spiritual Hindu Bali, terdapat sebuah ungkapan yang memuat makna mendalam, yaitu: "Ubah alam semesta sampai kau temukan kekosongan." Ungkapan ini mengajak umat Hindu untuk merenungkan hakikat alam semesta dan realitas hidup yang tampaknya nyata, namun sesungguhnya merupakan cerminan dari pemahaman yang lebih dalam tentang konsep kekosongan (Sunyata). Kekosongan, dalam konteks ini, bukanlah sesuatu yang kosong atau nihil, melainkan sebuah keadaan di mana segala sesuatu tidak terikat oleh definisi atau pemikiran yang membatasi. Kekosongan dalam Pandangan Hindu Bali Di Bali, konsep kekosongan dapat dipahami melalui ajaran Trikita Karana, yang merujuk pada tiga penyebab atau prinsip utama yang mengatur kehidupan: Parahyangan (hubungan dengan Tuhan), Pawongan (hubungan antar sesama manusia), dan Palemahan (hubungan dengan alam dan lingkungan). Ajaran ini memberikan panduan untuk hidup yang sei...

Makna dan Simbolisme Karowista serta Sarawista dalam Upacara Keagamaan Hindu Bali

M akna dan Simbolisme Karowista serta Sarawista dalam Upacara Keagamaan Hindu Bali Oleh: IBN. Semara M.   Sirawista atau Karowista adalah simbol sakral yang terbuat dari tiga helai alang-alang yang dirangkai hingga ujungnya membentuk lingkaran atau windu dengan titik di tengahnya. Simbol ini melambangkan aksara suci Om yang berasal dari bijaksara AUM , yang dibaca sebagai "A um " atau " Om ". Secara etimologi, Sirawista berasal dari kata Sirah (kepala, puncak, mahkota) dan Wista (kemanggulan untuk mencapai kemanunggalan yang dipuja). Istilah ini menggambarkan hubungan antara tubuh, roh, dan dimensi spiritual yang lebih tinggi. Menurut Ida Pedanda Gede Mandara Putra Kekeran Pamaron, Giriya Selat,   meskipun Karowista dan Sarawista dibuat dari bahan dan bentuk yang sama, penggunaannya menentukan istilahnya: Jika digunakan oleh sulinggih saat mepuja, disebut Sarawista , yang menandakan beliau sebagai Saiwa . Jika digunakan oleh pemangku ...

Menggali Makna di Balik Kehidupan, Alam, dan Waktu

Menggali Makna di Balik Kehidupan, Alam, dan Waktu O leh : IBN. Semara M. Menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi adalah wujud kesadaran spiritual yang mendalam. Tindakan ini tidak hanya mencerminkan nilai-nilai Tri Kaya Parisudha —kesucian pikiran (manacika), ucapan (wacika), dan tindakan (kayika)—tetapi juga selaras dengan ajaran Tri Hita Karana , sebuah konsep filosofis dalam Agama Hindu Bali yang menekankan keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan. Tri Hita Karana mengajarkan pentingnya menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan (Parhyangan), sesama manusia (Pawongan), dan alam semesta (Palemahan). Ketiga aspek ini saling berkaitan dan membentuk dasar untuk menciptakan kehidupan yang selaras.  Dalam hubungannya dengan Tri Kaya Parisudha, pengamalan pikiran, ucapan, dan tindakan yang suci menjadi cara untuk mewujudkan keharmonisan dalam ketiga hubungan tersebut. 1. Manacika (Kesucian Pikiran) Pikiran yang bersih dari niat egois memungkink...

Diksa Pariksa: Mengkaji Ulang Etika dan Relevansi dalam Tradisi Spiritual

D iksa Pariksa: Mengkaji Ulang Etika dan Relevansi dalam Tradisi Spiritual Oleh: IBN. Semara M. Diksa Pariksa merupakan salah satu tahapan penting dalam proses pengangkatan seorang Diksita menjadi Sulinggih. Proses ini tidak hanya sekadar memeriksa kesiapan administratif calon Diksita, tetapi juga menegaskan kesetiaan calon terhadap calon Nabe serta memastikan kemampuannya dalam memahami filsafat, susila, dan tata upacara agama. Diksa Pariksa menjadi langkah awal sebelum seorang calon Diksita dikukuhkan melalui upacara Diksa oleh calon Nabe yang telah membimbingnya. Dalam pelaksanaannya, Diksa Pariksa melibatkan Tri Guru, yaitu Nabe Napak, Nabe Waktra, dan Nabe Saksi. Tri Guru memiliki peran utama dalam memberikan pembelajaran, bimbingan, dan pengujian terhadap calon Diksita. Sebagai figur yang mendidik dan mengenal calon Diksita secara langsung, Tri Guru memiliki wewenang penuh untuk menilai kesiapan spiritual, intelektual, dan moral calon tersebut. Namun, yang menj...

"Pendidikan Anak: Harmoni Tradisi dan Modernitas"

" Pendidikan Anak: Harmoni Tradisi dan Modernitas" IBN. Semara Manuaba Mendidik anak adalah perjalanan yang penuh tantangan, apalagi di zaman sekarang, ketika semua serba cepat dan penuh tekanan. Dulu, pendidikan anak di Bali memiliki pola yang lebih natural, seirama dengan alam dan kearifan lokal yang sarat makna. Tapi kini, pola itu perlahan bergeser, meninggalkan tradisi yang begitu mendalam. Dulu, seorang anak dianggap "meperagan dewa," berbadan dewa, terutama pada masa awal kehidupannya hingga giginya tanggal. Anak-anak pada fase ini dipandang suci, murni, dan berada dalam perlindungan kekuatan ilahi. Karena itu, anak-anak harus diperlakukan seperti dewata —diperlakukan dengan penuh penghormatan dan kasih sayang. Mereka tidak diberi beban besar. Mereka bermain, berlarian di tanah, bergumul di lumpur, dan menjelajahi alam tanpa batasan. Semua itu dianggap sebagai bagian dari pembelajaran mereka tentang semesta. Melalui permainan itu, anak-an...

Ketika Rasa Berbagi Mulai Memudar

Ketika Rasa Berbagi Mulai Memudar Dahulu, hidup memang sederhana, tetapi rasa kebersamaan begitu kuat. Orang-orang berbagi dengan tulus, meskipun mereka sendiri sering kali dalam keterbatasan. Saat sulit untuk makan saja, mereka tetap rela berbagi, walau mungkin esok harus kembali mencari. Tidak ada hitung-hitungan atau rasa takut kekurangan, karena mereka percaya bahwa apa yang diberikan akan kembali dengan cara yang tak terduga. Namun, seiring waktu, keadaan berubah. Ketika sosial ekonomi membaik, pendidikan semakin tinggi, dan akses terhadap segala sesuatu menjadi lebih mudah, rasa berbagi itu perlahan-lahan memudar. Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, orang mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Fokus berpindah dari "kita" menjadi "aku." Dulu, hidup di desa penuh cerita tentang gotong royong. Orang-orang bekerja bersama di ladang, berbagi hasil panen, dan saling membantu tanpa pamrih. Jika ada yang kekurangan, tetangga pasti datang membant...